Mode Gelap
Artikel teks besar

UAS Sindir Keras Trans7 Lewat Puisi ‘Mazhab Cinta’: TV Sudah Mati Rasanya!

 


Tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 tengah menuai badai kritik setelah dinilai melecehkan kiai dan tradisi pesantren. Reaksi keras datang dari berbagai pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang bahkan telah melaporkan Trans7 ke kepolisian dan Dewan Pers, Senin (14/10/2025).

Di tengah polemik yang memanas, Ustaz Abdul Somad (UAS) memilih menyuarakan pandangannya dengan cara berbeda. Bukannya marah atau menuding, UAS justru menulis puisi reflektif berjudul “Mazhab Cinta” yang ia unggah melalui akun Instagram dan Facebook pribadinya.


UAS: “Cinta Itu Alam Rasa, Bukan Alam Kata”

Dalam puisinya, UAS menggambarkan bagaimana banyak orang gagal memahami dunia pesantren dan hubungan batin antara santri dan kiai.
“Cinta itu alam rasa, bukan alam kata. Kata terlalu miskin untuk mewakili rasa... Susah dilogikakan bagaimana rasa santri ngasi mercy, bagaimana rasanya mencium tangan Yai,” tulisnya.

Ia menegaskan, tradisi pesantren bukan sekadar rutinitas keagamaan, melainkan ikatan spiritual yang lahir dari cinta dan ketulusan.
“Orang menyebut Qais gila. Yang faham hanya yang pernah jatuh cinta,” tulis UAS, mengibaratkan hubungan santri dan kiai layaknya kisah legendaris Qais dan Laila yang melampaui logika.


Sindiran Halus untuk Dunia Televisi

Melalui bait-bait “Mazhab Cinta”, UAS juga menyelipkan kritik sosial terhadap industri media. Ia menyinggung bagaimana sebagian media kini lebih mengejar rating dan sensasi, ketimbang menjunjung nilai moral dan etika.

“Susah difahami karyawan TV yang rasanya sudah mati. Ditekan sana sini, sibuk dengan hirarki. Lambat kena caci maki, cepat diejek teman yang iri, penuh dengan bully,” tulisnya.

Kalimat itu dianggap sebagai sindiran halus bagi media yang dinilai kerap mengorbankan etika demi perhatian publik.


Respons Warganet dan Santri: “Pembelaan yang Elegan”

Unggahan puisi “Mazhab Cinta” langsung banjir respons dari ribuan warganet, terutama dari kalangan santri, alumni pesantren, hingga tokoh ormas Islam. Banyak yang menganggap puisi UAS sebagai bentuk pembelaan elegan terhadap martabat pesantren.

“Alhamdulillah Tuan Guru, kawal terus! Mereka yang nggak pernah mondok tapi sok paham dunia pesantren,” tulis akun @keviinfirst di kolom komentar.

Beberapa warganet bahkan ikut membagikan potongan puisi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap pesantren yang sedang disudutkan.


“Pesantren Itu Rumah Cinta”

UAS menutup unggahannya dengan foto bersama KH Kafabihi Mahrus, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Dalam caption-nya, ia menulis kalimat yang menegaskan filosofi pesantren:

“Pesantren itu rumah cinta. Hubungan antara santri dan Yai tidak bisa dijelaskan logika, hanya bisa dirasakan.”

Bagi banyak kalangan, pesan ini bukan hanya kritik terhadap media, tetapi juga refleksi mendalam tentang adab dan cinta dalam menuntut ilmu.


Desakan Terhadap Trans7 Terus Menguat

Sementara itu, gelombang protes terhadap Trans7 belum juga mereda. Berbagai organisasi keagamaan dan komunitas santri terus mendesak agar stasiun televisi tersebut memberikan klarifikasi terbuka atas tayangan “Xpose Uncensored” yang dianggap menyinggung pesantren.

PBNU menegaskan bahwa laporan ke Dewan Pers dilakukan demi menegakkan etika jurnalistik dan tanggung jawab moral media.
Sedangkan MUI meminta KPI turut memanggil Trans7 untuk dimintai penjelasan resmi.
“Media seharusnya menjadi sarana edukasi, bukan provokasi,” tegas pernyataan MUI.


UAS Tunjukkan Cara Santun dalam Berdakwah

Dengan jutaan pengikut di media sosial, Ustaz Abdul Somad dinilai memberi teladan penting: menyampaikan kritik dengan santun dan bermartabat. Melalui “Mazhab Cinta”, UAS menunjukkan bahwa membela kehormatan pesantren tak harus lewat amarah, melainkan bisa lewat puisi, refleksi, dan cinta.

Pesannya pun menggema di seluruh penjuru negeri — bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan ruang tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan spiritualitas.

Sumber: pojokbaca