HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Dikejar Tentara dan Difitnah Kekasih DN Aidit, Mantan Penyanyi Istana Buka Luka Lama G30S


Selepas peristiwa G30S 1965, kehidupan Nani Nurani di Cianjur, Jawa Barat berubah drastis.
Kampung halaman yang dulu hangat dan tenang tiba-tiba menjadi tempat penuh ketakutan.

Rumah orangtuanya berkali-kali didatangi aparat berseragam. Mereka mencari keberadaan Nani dan melontarkan berbagai tuduhan tanpa bukti.
Desas-desus itu pun cepat menyebar di lingkungan sekitar.

“Di Cianjur heboh. Eyang dituduh tari telanjang sampai ikut nyungkil mata di Lubang Buaya. Rumah juga digeledah, katanya ada senjata. Tulisan-tulisan eyang pun diperiksa, dituduh macam-macam,” tutur Nani saat berbincang dengan TribunJakarta.com di kediamannya, Koja, Jakarta Utara, Kamis (2/10/2025).

Dilarang Pulang ke Cianjur

Merasa tidak bersalah, Nani sempat ingin pulang ke Cianjur untuk membela diri.
Namun keluarganya menahan — khawatir keselamatannya terancam.

“Waktu itu eyang ingin pulang, ingin buktikan tidak bersalah. Tapi semua bilang jangan, karena masih muda dan situasi belum aman,” kenangnya.

Meski begitu, tidak semua aparat percaya pada tuduhan tersebut.
Seorang Komandan Cakrabirawa di Istana Cipanas bahkan datang langsung ke Jakarta untuk memastikan kebenarannya.

“Beliau bilang, ‘Saya harus bersihkan nama Sus Nani karena enggak mungkin (melakukan hal itu).’ Namanya Letna Bambang,” ujar Nani.

Namun, pembelaan itu lenyap seiring turunnya Presiden Sukarno dari kekuasaan.
Cakrabirawa dibubarkan, dan mereka yang pernah berhubungan dengan istana ikut dicurigai.

“Waktu itu istilahnya pembersihan. Malah jadi diuber-uber dan dianggap orangnya Sukarno,” katanya.

Difitnah Jadi Kekasih DN Aidit

Fitnah lain yang menghantam Nani bahkan lebih aneh. Ia disebut-sebut sebagai kekasih DN Aidit, tokoh utama PKI.

“Bahkan pas eyang beli rumah, dibilangnya rumah dari Aidit,” ucapnya sambil tertawa getir.

Padahal, Nani mengaku hanya pernah bertemu Aidit satu kali, saat peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1965.
Kala itu, ia memotong daging panggang dan membagikannya ke tamu. Aksi spontan itu mendapat pujian dari Aidit dan mantan PM Ali Sastroamidjojo.

“Pak Aidit kasih kartu nama dan bilang kalau ada perlu boleh cari dia. Pak Ali Sastro juga bilang hal yang sama,” kenangnya.

Secara kebetulan, ketika ditahan di Penjara Bukit Duri, Nani satu sel dengan mertua Aidit.

“Kita malah jadi dekat. Sering ketawa kalau bahas gosip itu. Beliau malah jadi guru ngaji di penjara,” katanya.

Dapat Kartu Sakti dari Kodam

Setelah peristiwa 1965, Nani bekerja di PT Takari — perusahaan di bawah pengawasan Kodam IV/V dan Kejaksaan Agung.
Direkturnya, Atmoko dan Soetarjo Soerjosoemarno, berasal dari kalangan militer.

Awalnya semua berjalan normal, hingga keluarga Nani di Cianjur diancam oleh anggota Korps CPM.
Agar keluarganya aman, Nani akhirnya mengaku kepada atasannya soal tuduhan PKI yang membayanginya.

“Pak Atmoko bilang, ‘Kenapa enggak bilang dari dulu sama bapak?’” tutur Nani.

Atasannya kemudian membuatkan surat resmi dari Kodam yang menyatakan bahwa Nani bersih dari keterlibatan G30S.
Namun surat itu tak digubris oleh aparat di daerah.

“Mereka pikir main-main. Jadi malah eyang enggak boleh ke Cianjur,” ujarnya.

Setelah memiliki surat tersebut, rumah keluarganya tak lagi diganggu.
Nani pun bisa kembali beraktivitas dengan lebih tenang, bahkan aktif kembali di dunia seni pada tahun 1967.

Kembali Ditangkap Saat Lebaran

Tahun 1967, Nani kembali berkarya bersama Angkatan Kesenian Sunda Mahasiswa, mengajar menyanyi bagi kalangan istri pejabat.
Namun kebebasan itu tak berlangsung lama.

Pada Lebaran tahun 1968, tepatnya 23 Desember, Nani ditangkap di rumah orangtuanya di Cianjur.

“Waktu itu lagi di rumah, tiba-tiba datang aparat. Saya enggak tahu salah saya apa,” kisahnya.

Kisah penangkapan dan kehidupan Nani di penjara Bukit Duri akan dibahas dalam bagian berikutnya.


Sumber: tribunnews