Ijazah Gibran Dipersoalkan, Pakar Hukum Sebut Bisa Dimakzulkan DPR
Foto: Demo menolak Gibran sebagai cawapres di MK (IST) |
Polemik soal keabsahan ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan publik. Advokat Ahmad Khozinudin, S.H., Koordinator Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi & Aktivis, bahkan menyebut Gibran bisa dimakzulkan karena dinilai tidak memenuhi syarat konstitusional sebagai wakil presiden.
Khozinudin menjelaskan, kliennya yang terdiri dari Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM), telah mendatangi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada Selasa (23/9). Mereka menindaklanjuti dugaan ketidakabsahan ijazah Gibran dengan merujuk pada Pasal 169 huruf R UU No. 7/2017 jo Pasal 13 huruf R PKPU No. 23/2023, yang mewajibkan calon presiden dan wakil presiden memiliki pendidikan minimal setara SMA, MA, SMK, atau MAK.
Menurut Khozinudin, Gibran tidak memiliki ijazah formal SMA maupun sederajat. Satu-satunya dokumen pendidikan yang diklaim setara adalah dari sekolah luar negeri, yakni UTS Insearch Australia dan Orchard Park School Singapore. Namun, dosen IPB University, Dr. Meilanie Buiten Zorgy, menegaskan ijazah tersebut tidak memenuhi ketentuan penyetaraan sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 50/2020.
“UTS Insearch bukan high school. Itu hanya program persiapan universitas, bukan ijazah SMA atau IB Diploma. Gibran juga tidak memiliki GCE A-Level atau O-Level dari Singapura,” ujar Meilanie dalam kajiannya.
Isu ini kian memanas karena Gibran tengah menghadapi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dugaan tidak memiliki ijazah SMA atau sederajat. Bila terbukti, Khozinudin menilai Gibran dapat dimakzulkan sesuai Pasal 7A UUD 1945, yang mengatur bahwa presiden maupun wakil presiden dapat diberhentikan jika tidak lagi memenuhi syarat jabatan.
Khozinudin pun menyindir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sempat membuka jalan Gibran maju dalam Pilpres lewat tafsir usia minimal. “Ijazah yang bermasalah jelas tidak memenuhi syarat konstitusi,” tegasnya.
Meski begitu, muncul pertanyaan besar: apakah DPR akan berani memulai proses pemakzulan? Mengingat mantan Presiden Joko Widodo sebelumnya menggerakkan relawan untuk mendukung Prabowo-Gibran dua periode, banyak kalangan skeptis bahwa parlemen akan menempuh langkah politik tersebut.
Bahkan, sebagian aktivis mengingatkan skenario “cara Nepal”—yakni demonstrasi besar yang pernah menjatuhkan monarki di Nepal—bisa saja ditempuh rakyat jika jalur hukum dianggap buntu.
Kini, semua perhatian tertuju pada DPR dan MPR. Apakah keduanya benar-benar akan menguji Pasal 7A UUD 1945 dan memproses pemakzulan, atau kasus ijazah ini hanya akan berakhir sebagai polemik panjang tanpa kejelasan? Jawabannya masih menunggu waktu.