Palestina Diakui Dunia, Tapi Kenapa Belum Proklamasikan Kemerdekaan?
Ilustrasi (Artificial Intelligence) |
Sidang Umum PBB ke-80 mencatat momen bersejarah. Ratusan negara berdiri dan bersuara lantang mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Suasana yang biasanya kaku dengan bahasa diplomasi tiba-tiba berubah layaknya stadion penuh sorak sorai—meski tanpa tiupan vuvuzela.
Keputusan ini bukan sekadar simbol, melainkan penegasan bahwa mayoritas dunia kini menempatkan Palestina di kursi bangsa merdeka. Amerika Serikat boleh saja menolak dan memveto, tetapi di panggung global, suara satu negara tentu kalah dibanding ratusan.
Meski begitu, publik dibuat bertanya-tanya: mengapa para tokoh Palestina tidak memanfaatkan momentum ini untuk segera memproklamasikan kemerdekaan? Cukup dengan secarik kertas dan suara serak ala Bung Karno, dunia tentu akan mencatat sejarah baru.
Sebagian masyarakat Indonesia sempat bangga ketika Presiden Prabowo Subianto mendapat sorotan kamera internasional dengan pidatonya yang penuh energi. Namun, di tanah air, netizen justru sinis. Banyak yang menyebut pidato itu sekadar “bumbu penyedap restoran diplomasi.” Palestina, faktanya, tetap terpuruk.
Bahkan tokoh sekelas Din Syamsuddin menilai seruan Prabowo soal solusi dua negara hanyalah “teriakan di tengah samudera.” Lantang, tapi akhirnya tenggelam oleh deru tank Israel yang terus menghantam Gaza.
Janji Prabowo untuk mengirim 20 ribu pasukan ke Gaza pun tak lepas dari sorotan. Warganet menantang, “Kalau memang berani, kirim sekarang juga. Jangan tunggu Palestina jadi negara resmi.” Dunia maya pun seakan berubah menjadi markas militer dadakan dengan komentar-komentar penuh sarkasme.
Sayangnya, gagasan solusi dua negara yang kembali didengungkan di forum PBB terasa seperti lagu lama yang diputar ulang. Indah, tapi semua tahu akhir ceritanya selalu sama: Palestina tetap dipaksa hadir di meja perundingan tanpa pertahanan, tanpa kedaulatan, bahkan tanpa harga diri.
Banyak yang melihat ini sebagai drama berulang. Barat pura-pura mendukung Palestina, tetapi tetap mengalirkan bantuan senjata ke Israel. Negara-negara Asia seperti Jepang dan Singapura menunda pengakuan karena khawatir hubungannya dengan AS terganggu. Sementara Inggris dan Prancis bersuara mendukung, tapi diam-diam meneken cek untuk Tel Aviv.
Pertanyaan besar pun mengemuka: mengapa Palestina sendiri belum berani mendeklarasikan kemerdekaan? Jawabannya ternyata tidak sederhana. Konflik internal antara Hamas, Fatah, dan faksi-faksi lain membuat politik Palestina lebih rumit dari sekadar perbedaan strategi.
Padahal sejarah dunia menunjukkan, banyak bangsa merdeka tanpa menunggu restu internasional. Amerika Serikat memproklamasikan kemerdekaan tahun 1776 tanpa menunggu lembaga global. Vietnam berdiri tahun 1945 di tengah ancaman meriam Prancis. Bangladesh lahir tahun 1971 lewat darah dan air mata, bukan voting diplomasi.
Indonesia pun serupa. Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya berani membacakan proklamasi, bahkan dalam tekanan, meski belum ada kepastian politik global. Kalau saat itu para pendiri bangsa menunggu situasi ideal, mungkin proklamasi baru terjadi satu dekade kemudian.
Kenyataan pahit Palestina hari ini adalah tragedi momentum yang hilang. Dunia sudah memberi pengakuan, tapi para pemimpin Palestina masih ragu untuk mengetuk palu kemerdekaan. Ironisnya, justru warganet yang paling lantang mendesak: “Deklarasikan saja sekarang! Kalau perlu, kami siap jadi Rengasdengklok virtual.”
Pelajaran yang bisa dipetik: pengakuan internasional sering kali hanyalah angka-angka di meja diplomasi. Yang menentukan hanyalah keberanian bangsa itu sendiri. Para petani Gaza yang tetap menanam di sela reruntuhan barangkali lebih merdeka dibanding para politisi yang sibuk berdebat soal strategi.
Pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa proklamasi bukan soal siapa yang mendukung atau menolak, melainkan soal keberanian membaca selembar kertas di hadapan rakyat. Dan keberanian itu, sampai hari ini, masih menjadi kunci yang belum diputar oleh Palestina.
Sumber: rmol