Polemik Ijazah Gibran: Antara Isu Hukum, Serangan Politik, dan Ancaman Diplomatik



Kontroversi mengenai keabsahan ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menjadi sorotan publik. Polemik ini bahkan mulai menyentuh ranah diplomasi internasional setelah sebelumnya hanya berkutat pada perdebatan hukum.

Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dian Sandi Utama, menilai langkah sebagian pihak yang menggugat dokumen pendidikan Gibran tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, tuduhan semacam ini berpotensi menyeret nama baik Indonesia dalam hubungan dengan negara lain.

“Penggugat ijazah Pak Jokowi dan Mas Gibran ini sangat berbahaya untuk Indonesia,” ujar Dian melalui akun media sosial X @DianSandiU, Selasa (30/9/2025).

Dian yang baru saja dipercaya memimpin Direktorat Diseminasi Informasi dan Media Sosial DPP PSI itu berpendapat, isu ijazah ini bukan lagi kritik biasa, melainkan bagian dari serangan sistematis. Ia khawatir, dampak jangka panjangnya justru akan merugikan bangsa sendiri.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa tudingan tersebut kini bukan hanya menyasar institusi pendidikan dalam negeri, tetapi juga lembaga pendidikan luar negeri yang memiliki reputasi tinggi. Hal ini, kata Dian, berisiko menimbulkan gesekan diplomatik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

“Kemarin menghina institusi pendidikan dalam negeri, sekarang menghina institusi pendidikan luar negeri," tutur Dian. "Bahaya untuk hubungan Indonesia dengan negara-negara yang selama ini sudah terjalin sangat baik,” sambungnya.

Salah satu negara yang disinggung Dian adalah Singapura, tempat Gibran pernah menempuh pendidikan. Ia menegaskan, Singapura adalah negara yang menjunjung tinggi integritas, terutama dalam dunia akademik. Meragukan ijazah dari universitas di sana, kata Dian, sama saja menuding lembaga pendidikan Singapura tidak kredibel.

“Singapura itu negara kecil, kampus di sana sedikit, mereka bertahan karena integritas," ujarnya. "Orang Indonesia yang menghina-hina seolah mereka bisa dibeli, bisa membuat hubungan kedua negara menjadi buruk.”

Dian juga menyinggung bukti-bukti konkret terkait kelulusan Gibran, termasuk dokumentasi resmi seperti foto wisuda yang terpampang di almamaternya.

“Kalian meragukan ijazah yang mereka keluarkan, kalian ragukan Gibran yang photo wisudanya terpampang di kampus. Apa itu tidak namanya menjelekkan institusi pendidikan mereka?," tegasnya.

Namun di sisi lain, suara berbeda datang dari pakar telematika Roy Suryo. Ia menjadi salah satu pihak yang paling keras mempertanyakan keabsahan dokumen pendidikan Gibran.

Menurut Roy, inti persoalan bukan pada isu liar di media sosial, melainkan pada aspek legal sesuai aturan pemilu. Ia mengacu pada UU Pemilu No 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf r serta Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, yang mewajibkan calon minimal berijazah SMA atau sederajat.

“Jelas ada penjelasan bahwa sederajat yang dimaksud berarti ijazah harus diakui setara SMA melalui keputusan penyetaraan resmi dari Kemendikmenjur atau Kemenag," tegas Roy. "Bukan sekadar surat keterangan yang tidak memiliki kekuatan hukum.”

Roy juga menyoroti terbitnya surat penyetaraan bernomor 9149/D.DI/KS/2019 pada 6 Agustus 2019. Ia menduga dokumen tersebut hanya berdasarkan fotokopi rapor tanpa dukungan berkas resmi. Bahkan, Roy menyebutnya sebagai “keajaiban dunia ke-9”.

Sumber: suara

Foto: Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dian Sandi Utama diperiksa polisi. (Antara)